Pasar Terbakar, Pedagang Terlantar: Tuntutan Keadilan dan Tanggung Jawab Daerah kab. Banggai

david hermansyah | 20 May 2025, 18:59 pm |

Reza hasan (Anggota Pimpinan cabang imm kab.banggai) mengkritik terkait kejadian kebakaran di pasar kab. Banggai sebagai bentuk dugaan kesengajaan dan kegagalan pemerintah daerah kab. Banggai.

1. Dua Kebakaran Besar yang Sarat Konspirasi

Polemik kebakaran pasar sentral Luwuk Banggai yang terjadi pada tahun lalu atau tepatnya pada hari Minggu, 8/12/2024 pukul 08:00 WITA, menghanguskan seluruh bangunan di wilayah tersebut.

Berdasarkan dari hasil penyelidikan pihak kepolisian, kebakaran diduga dipicu oleh korsleting listrik. Namun, kami ragu atas hasil penyelidikan pihak kepolisian.

Pasalnya lokasi tersebut bertepatan dengan rencana proyek pembangunan pemerintah daerah yang sebelumnya pernah diberitakan, dugaan ini diperkuat dengan tidak adanya kejelasan dari pemerintah daerah terkait nasib para korban peristiwa tersebut.

Naasnya, kebakaran kembali terjadi di Pasar Simpong pada seminggu lalu atau tepatnya pada Senin, 12/5/2025 pukul 01:30 WITA, yang mana dari peristiwa ini menghanguskan sebagian lapak pedagang.

Berdasarkan keterangan saksi, bahwa sumber api tidak hanya berasal dari satu titik saja tetapi dari tiga titik. Dari salah satu lokasi sumber api saksi sempat mencium adanya bau bensin. Hal tersebut memunculkan kecurigaan para korban bahwa tempat tersebut memang sengaja untuk dibakar, ditambah pada saat proses pemadaman api terdapat salah satu armada pemadam kebakaran (Damkar) yang kehabisan bahan bakar solar.

Untungnya tidak terdapat korban jiwa dari peristiwa kebakaran tersebut. Namun, peristiwa ini menyebabkan dampak kerugian besar bagi para korban. Dari hasil pendataan untuk sementara terdapat 326 pedagang yang menjadi korban, dan diperkirakan angka kerugiannya mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Pasca kebakaran, tim inafis Polres Banggai diberitakan langsung turun melakukan penyelidikan di tempat kejadian. Namun sampai dengan tulisan ini dibuat, belum ada hasil yang jelas terkait penyebab kebakaran tersebut.

2. Dugaan Motif Tersembunyi di Balik Rencana Pembangunan

Kasus-kasus kebakaran besar di atas terjadi pada kondisi yang hampir mirip, yaitu pada saat aktivitas masyarakat sedang minim.

Dari kesamaan tersebut, menimbulkan kecurigaan masyarakat, mereka menduga ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Dugaan ini diperkuat oleh fakta kesaksian dari saksi mata pada saat kebakaran Pasar Simpong.

Hal ini hampir mirip jika kita kaitkan dengan kasus kebakaran Pasar Simpong pada tahun 2021 lalu, yang mana pada lokasi bekas kebakaran tersebut sekarang telah dibangunkan pasar modern yang megah.

Serupa dengan pasar simpong, jauh sebelum kebakaran di pasar sentral sudah ada rencana dan rancangan pembangunan pasar modern/mall di lokasi kebakaran tersebut. Sehingga kami menduga bahwa kasus yang berulang ini ada indikasi kuat pemerintah turut terlibat dalam konspirasi kebakaran dua pasar tersebut. Tujuannya untuk memuluskan pembangunan proyek dengan merelokasi paksa pedagang.

Motif yang jelas seperti ini seharusnya tidak boleh sengaja dilewatkan oleh pihak kepolisian, dimana kebakaran Pasar Sentral dan Simpong diduga kuat telah terjadi kejahatan terstruktur.

Oleh karena itu, kami meminta kepada pihak kepolisian agar segera mengusut kasus ini hingga tuntas dan transparan, baik kasus kebakaran di Pasar Sentral maupun di Pasar Simpong, sehingga keadilan bagi korban dapat ditegakkan.

3. Kegagalan Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kebakaran

Di sisi lain, kami sangat menyayangkan atas kecerobohan yang terjadi pada saat proses pemadaman api oleh Damkar di Pasar Simpong.

Sebab jika kita melihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 114 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Kebakaran Daerah Kabupaten/Kota, pada Pasal 4 ayat (1) huruf (a) menyebutkan bahwa “tingkat waktu tanggap (response time) 15 menit sejak diterimanya informasi/laporan sampai tiba di lokasi dan siap memberikan layanan penyelamatan dan evakuasi.”

Artinya, petugas diberikan waktu maksimal 15 menit untuk tiba di lokasi kejadian terhitung dari sejak menerima laporan. Termasuk sarana dan prasarana keadaan darurat pun harus selalu dalam keadaan siap digunakan.

Pada pasal selanjutnya, pada bagian ketiga tentang tata cara penerapan standar, pasal 7 ayat (1) huruf (b) menyebutkan, Tata cara penerapan pelayanan dasar sub urusan kebakaran dilakukan dengan tahapan
perhitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan dasar.

Ini berarti bahwa sebelum turun kelapangan, seharusnya segala bentuk kebutuhan dalam menangani peristiwa kebakaran sudah harus diperhitungkan dan di persiapkan.

Pada pasal lebih lanjut lagi, tepatnya pada pasal 8 ayat (1) menyebutkan “Perangkat daerah yang menyelenggarakan sub urusan kebakaran dalam menyusun dokumen perencanaan dan anggaran wajib memprioritaskan program dan kegiatan pemenuhan pelayanan dasar”. Serta pada pasal 10 menyebutkan bahwa “Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab menjamin pemenuhan pembiayaan SPM sub urusan kebakaran dengan mengalokasikan anggaran dalam APBD”.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah Pemerintah Daerah benar-benar telah melaksanakan kegiatan penanggulangan kebakaran sesuai prosedur?.

Kalau kita mengkaji aturan-aturan terkait penanggulangan bencana kebakaran, dan melihat fakta dilapangan kita dapat menyimpulkan bahwa Pemerintah Daerah tidak siap dalam menghadapi bencana kebakaran, hal tersebut dapat dilihat dari penyediaan fasilitas sarana dan prasarana penunjang penanggulangan kebakaran yang minim atau bahkan tidak ada, mulai dari hidran kebakaran yang terbilang minim atau jarang ada di wilayah perkotaan kabupaten banggai, yang menyebabkan penanggulangan kebakaran tidak optimal.

Hal ini bisa terlihat bagaimana petugas Damkar bahkan tidak memiliki bahan bakar Solar untuk keperluan kendaraannya sendiri.

Terlebih lagi, untuk wilayah rawan kebakaran seperti pasar bahkan tidak ada pelatihan mitigasi bagi masyarakat di wilayah tersebut. Padahal hal ini diatur pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Peraturan menteri PUPR) Nomor 20/PRT/M/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan.

4. Kewajiban Hukum Pemerintah untuk Memberi Ganti Rugi

Melihat dua peristiwa kebakaran di atas, Pemerintah Daerah terkesan abai dalam menunjang fasilitas sarana prasarana penanggulangan kebakaran bagi Perangkat Terkait.

Pemerintah Daerah terkesan kurang bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi pengawasan serta menjamin pelaksanaan prosedur penanggulangan kebakaran oleh Damkar.

Hal ini tercermin dari seringnya keterlambatan Damkar dalam merespon laporan dan menangani kebakaran yang terlihat sangat cerboh dan tidak professional. Bahkan, hal tersebut disebabkan oleh sesuatu yang terlalu remeh.

Ini menunjukkan lemahnya manajemen dan kordinasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Akibat penanganan yang tidak optimal tersebut berdampak pada kerugian yang lebiih besar bagi para korban.

Berdasar hal penjelasan diatas, maka Pemerintah Daerah seharusnya bertanggung jawab atas segala bentuk kerugian, baik materiil maupun non-materiil yang diderita para korban.

Akan tetetapi, ironisnya hingga kini Pemerintah bersikap seolah-olah tidak memiliki kewajiban terhadap nasib para korban yang masih terkatung-katung tidak menentu.

Pedagang Pasar Sentral misalnya, sampai sekarang masih mengungsi di balai Kelurahan Luwuk. Tidak ada kejelasan baik nasib dan jaminan rehabilitasi bagi mereka sampai detik ini.

Padahal, Kabupaten Banggai telah memiliki dasar hukum yang jelas melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Daerah. Yang secara jelas menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas penanggulangan bencana, baik alam maupun non-alam termasuk didalamnya memberi ganti rugi. Artinya, melalui peraturan tersebut pemerintah daerah wajib memberikan ganti rugi kepada para korban.

Lebih lanjut, dalam perspektif hukum agraria/tanah, Pasal 18 UUPA Tahun 1960 menyebutkan bahwa tanah -termasuk tanah hak pakai oleh pedagang- demi kepentingan umum bisa diambil alih asalkan melalui proses ganti rugi yang layak.

Maka, jika benar area kebakaran akan dibangun pusat perbelanjaan modern/mall, Pemerintah Daerah tetap memiliki kewajiban memberikan ganti rugi terhadap para pedagang yang terdampak.

Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah tidak menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana yang ditetapkan dalam regulasi.

5. Rekomendasi untuk Pencegahan dan Perlindungan Pedagang

Di sisi lain, untuk mencegah kerugian besar di masa mendatang, Pemerintah Daerah perlu berbenah, Salah satu langkah paling konkret adalah mengasuransikan lapak pedagang melalui skema kolektif berbasis
retribusi sewa.

Premi asuransi dapat dibayarkan sebagian dari dana retribusi pasar, sehingga tidak membebani pedagang secara langsung.

Skema ini telah terbukti berhasil di berbagai daerah, seperti di Pasar Ngawen, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Selain perlindungan finansial, penerapan asuransi bagi pedagang juga menjadi indikator bahwa pemerintah
benar-benar hadir dan peduli terhadap nasib para pedagang.

Berita Terkait