

Bolsel – Memasuki usia ke-17, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dihadapkan pada momentum penting: bukan sekadar merayakan seremoni ulang tahun, tetapi melakukan refleksi mendalam atas arah pembangunan ke depan.
Hal ini disampaikan oleh Yayan Mokoagow, mahasiswa asal Bolsel, yang menilai bahwa usia “sweet seventeen” adalah waktu yang tepat bagi daerah ini untuk menyeimbangkan pembangunan fisik dengan pembangunan intelektual dan kultural.
“Selama hampir dua dekade, Bolsel telah membangun jalan, jembatan, sekolah, dan fasilitas kesehatan. Tapi saat ini, kita ditantang untuk mulai membangun jalan pikiran — ekosistem berpikir yang sehat dan partisipatif,” ujar Yayan dalam refleksinya, Senin (22/7/2025).
Menurut Yayan, membangun jalan pikiran berarti mendorong budaya literasi, membiasakan dialog terbuka, dan menciptakan ruang-ruang diskusi lintas generasi. Bagi dia, pembangunan tidak cukup hanya diukur dari infrastruktur yang kasat mata, tetapi juga dari kesadaran kolektif masyarakat yang tumbuh dari dalam.
“Gedung bisa dibangun, tapi kalau tidak dibarengi dengan pertumbuhan kesadaran, semua itu akan jadi artefak kosong. Bolsel butuh generasi yang tidak hanya bangga dengan identitas lokal, tapi juga bisa membacanya secara kritis untuk membangun masa depan,” lanjutnya.
Transisi Menuju Peradaban Baru
Usia ke-17, lanjut Yayan, harus dimaknai sebagai fase transisi menuju kedewasaan peradaban. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mulai menanamkan visi besar tentang Bolsel di masa depan — bukan hanya dari sisi administratif, tetapi juga dari segi kualitas sumber daya manusia dan daya tahan sosial-budaya.
“Ini bukan lagi soal seremoni tahunan, ini saatnya Bolsel mendesain cetak biru peradaban lokal. Kita harus berani keluar dari zona nyaman simbolik dan mulai menyentuh akar-akar masalah seperti kualitas pendidikan, kemandirian ekonomi, hingga keberanian berpikir kritis,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya menjadikan pendidikan, budaya, dan ekonomi rakyat sebagai pilar utama arah baru pembangunan Bolsel. Menurutnya, kabupaten ini tidak bisa terus berjalan di belakang arus globalisasi, melainkan harus menjadi subjek sejarahnya sendiri.
Politik Etis dan Peran Generasi Muda
Yayan juga menyoroti pentingnya membangun politik etis — yakni politik yang berpijak pada nilai dan rasionalitas, bukan sekadar kekuasaan. Baginya, ketika masyarakat diberi ruang untuk berpikir dan berdialog, maka demokrasi lokal akan tumbuh dengan lebih sehat.
“Generasi muda jangan hanya dijadikan pelengkap seremoni. Mereka harus dilibatkan dalam laboratorium ide untuk menyusun kebijakan berbasis nalar dan nurani,” kata mahasiswa tersebut.
Ia mengajak semua pihak, termasuk birokrasi dan tokoh-tokoh masyarakat, untuk mulai menghargai keberagaman pikiran dan menjadikan kritik sebagai vitamin demokrasi, bukan ancaman.
Menata Ulang Paradigma Pembangunan
Yayan menyatakan bahwa paradigma pembangunan Bolsel harus bertransformasi. Ia menolak dikotomi pembangunan fisik dan non-fisik, namun menggarisbawahi bahwa keduanya harus berjalan seimbang.
“Sekolah boleh megah, tapi kalau sistemnya masih membunuh daya kritis, kita belum benar-benar membangun. Jalan boleh lebar, tapi kalau tidak membawa masyarakat pada kemajuan berpikir, arah pembangunan kita bisa keliru,” tegasnya.
Ia mendorong agar setiap kebijakan publik dinilai bukan hanya dari output-nya, tetapi dari dampaknya terhadap keadilan sosial, kesetaraan akses, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Menutup dengan Gagasan dan Hati
Di akhir refleksinya, Yayan Mokoagow mengajak seluruh masyarakat Bolsel untuk merayakan HUT ke-17 ini bukan hanya dengan panggung hiburan dan kembang api, tetapi dengan semangat membangun kesadaran baru.
“Pembangunan sejati adalah ketika rakyat bisa berpikir, bermimpi, dan bertindak dengan bebas dalam sistem sosial yang adil. Sejarah tidak akan mencatat siapa yang membangun gedung tertinggi, tetapi siapa yang membangun gagasan terdalam,” tutupnya.
Perayaan Sweet Seventeen Bolsel tahun ini memang harus menjadi titik balik. Saatnya membangun bukan hanya dari atas, tetapi juga dari dalam — dari pikiran rakyat, dari hati birokrasi, dan dari cita-cita generasi mudanya.
