

Kamis, 9 Januari 2025
Jurnalis : David Hermansyah
Mataharian.com, Watutau – Masyarakat Adat Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, secara tegas menolak kegiatan yang dilakukan oleh Badan Bank Tanah yang berencana mengalihkan hak atas tanah di wilayah mereka. Penolakan ini disampaikan dalam rapat terbuka yang diadakan di balai desa pada hari Senin (8/1/2025).
Sejumlah tokoh adat dan perwakilan masyarakat setempat menyatakan bahwa tanah adat mereka adalah bagian dari warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan, serta tidak dapat dipindah tangan atau dikelola tanpa persetujuan mereka. Mereka khawatir kegiatan Bank Tanah akan merugikan keberlanjutan hidup mereka sebagai masyarakat adat yang bergantung pada tanah tersebut untuk bertani dan berladang.
“Tanah ini adalah hidup kami, tempat kami memperoleh penghidupan, dan kami sudah lama menjaga hutan dan tanah kami. Kami tidak ingin hak kami dirampas tanpa persetujuan,” ujar salah satu tokoh adat setempat, Wawu Jari, dalam pertemuan tersebut.
Pihak Badan Bank Tanah, yang hadir dalam pertemuan itu, menjelaskan bahwa kegiatan tersebut bertujuan untuk mempermudah redistribusi tanah kepada mereka yang membutuhkan. Namun, masyarakat adat menilai bahwa proses tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip adat dan tidak mempertimbangkan kebutuhan serta hak mereka.
Masyarakat juga mengingatkan bahwa, sesuai dengan undang-undang yang mengakui hak atas tanah ulayat, mereka berhak untuk memutuskan penggunaan dan pengelolaan tanah adat mereka tanpa intervensi pihak luar.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Poso berjanji untuk memfasilitasi dialog lebih lanjut antara masyarakat adat, Badan Bank Tanah, serta instansi terkait agar solusi yang menguntungkan kedua belah pihak dapat tercapai. Namun, masyarakat adat menegaskan bahwa mereka akan tetap memperjuangkan hak mereka untuk mempertahankan tanah adat dari ancaman pengambilalihan tanpa persetujuan mereka.
Penolakan ini menjadi bagian dari protes yang lebih luas dari masyarakat adat di berbagai daerah yang merasa terancam oleh kebijakan pemerintah terkait pengelolaan tanah, yang seringkali dianggap tidak melibatkan mereka secara langsung dalam proses pengambilan keputusan.
