

Semarang, 19 Februari 2025 — Pemerintah Prabowo-Gibran di tahun 2025 tengah menghadapi tantangan serius dalam implementasi Program Makan Berizi Gratis (MBG) yang dinilai kurang optimal akibat ketimpangan dalam pemerataan distribusi bantuan. Banyak masyarakat, terutama di daerah terpencil, mengeluhkan minimnya akses terhadap program ini, sementara beberapa wilayah yang lebih maju justru mendapat pasokan yang lebih besar. Di sisi lain, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah turut memperburuk situasi, mengurangi dana yang tersedia untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Pemangkasan anggaran ini berpotensi berdampak besar pada kualitas pendidikan dan layanan kesehatan, yang semakin terbatas, serta menghambat upaya pemerintah dalam menciptakan pemerataan kesejahteraan di seluruh Indonesia
Bintang, Presiden Mahasiswa (Presma) Universitas 17 Agustus (Untag), menanggapi kebijakan tersebut dengan optimisme. Ia menyatakan dukungannya terhadap program pemerintah, terutama dalam upaya membantu keluarga yang kurang mampu melalui program MBG (Makan Bergizi Gratis). Menurutnya, meskipun ada beberapa tantangan, program MBG memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang membutuhkan.
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan pandangan Bintang. Surya, Wakil Presiden Mahasiswa (Wapresma) Politeknik Negeri Semarang (Polines), mengakui bahwa niat dari program MBG sangat baik. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat, khususnya pada keluarga kurang mampu. Namun, ia menyoroti adanya kendala serius dalam hal pemerataan, terutama terkait dengan kemudahan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) untuk bergabung sebagai mitra dalam program ini.
“Programnya baik, tapi masih susah untuk UMKM menjadi mitra di program ini, dengan persyaratan yang ketat dan sistem pembayaran dengan model talang dahulu dianggap sebagai hambatan besar bagi UMKM yang ingin berpartisipasi.” ungkap Surya.
Kritikan lebih tajam datang dari Bagaskara, Ketua Komisi C Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Semarang (USM). Bagaskara menilai bahwa program MBG belum cukup jelas dan tidak memberikan dampak signifikan. Ia bahkan mengusulkan agar dana yang dialokasikan untuk program MBG lebih baik dialihkan untuk program ketahanan pangan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
“Program MBG tidak jelas, tidak ada gunanya. Lebih baik dialihkan ke ketahanan pangan dan peningkatan kualitas SDM,” ujar Bagaskara.
Zhaki, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (Presbem) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), turut memberikan pandangannya mengenai program MBG. Zhaki menilai bahwa meskipun program ini bertujuan mulia untuk menurunkan angka stunting dan meningkatkan kualitas SDM melalui pemenuhan gizi, program ini berpotensi menciptakan ketergantungan penerima manfaat terhadap subsidi pemerintah dalam jangka panjang. Ia mengingatkan pentingnya pendekatan yang lebih menyeluruh untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan memastikan program tersebut tidak menimbulkan ketergantungan.
Dengan berbagai tanggapan yang muncul, kebijakan pemangkasan anggaran dan pelaksanaan program MBG jelas menjadi perdebatan hangat di kalangan mahasiswa. Meski ada optimisme terkait niat baik pemerintah, namun berbagai kendala operasional dan tantangan pemerataan yang dihadapi program-program tersebut menjadi perhatian serius yang perlu segera dibenahi. Pemerintah pun diharapkan dapat mendengarkan kritik konstruktif ini untuk memastikan program-program yang dicanangkan dapat berjalan dengan efektif dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.
