

Bolaang Mongondow Selatan– Di balik gemuruh mesin ekskavator yang menggali perut bumi Upper Tobayagan, tersimpan cerita kelam tentang bagaimana kepentingan ekonomi bisa menelikung keadilan agraria dan kedaulatan hukum. Praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang berlangsung di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) ini bukan sekadar soal pelanggaran administratif biasa, melainkan jejaring kompleks yang melibatkan mantan politisi, investor berpengaruh, hingga dugaan keterlibatan oknum aparat negara.
Gilang, seorang pemuda lingkungan yang telah melihat aktivitas pertambangan di Bolsel, mengungkapkan keprihatinannya atas praktik PETI yang semakin masif di Upper Tobayagan. “Yang kita lihat di sana bukan lagi tambang tradisional yang dikelola warga setempat, tetapi operasi terstruktur dengan modal besar dan jaringan kekuasaan yang kuat,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Kamis (22/8/2025).
Menurut penelusuran Gilang, diduga setidaknya terdapat 7 unit alat berat yang beroperasi aktif di lokasi—6 ekskavator dan 1 buldozer. “Dari pengamatan selama dua bulan terakhir, aktivitas produksi material tambang berlangsung sangat intensif. Ini bukan operasi kecil-kecilan,” terangnya.
Nama dugaan yang paling sering disebut dalam jejaring ini adalah Ko Elo, mantan anggota DPRD Sulut yang kini berperan sebagai salah satu aktor utama. “Ko Elo bukan hanya sebagai investor biasa. Informasi yang kami terima, dia juga menjadi penyedia bahan kimia berbahaya seperti sianida untuk proses pengolahan emas. Ini menunjukkan betapa terstrukturnya operasi mereka,” ungkap Gilang.
Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Gilang, adalah dugaan keterlibatan oknum Aparat dalam memberikan “perlindungan” terhadap aktivitas ilegal tersebut. “Ada informasi bahwa sejumlah oknum aparat menjaga lokasi camp PETI. Ini menciptakan ilusi keamanan di atas aktivitas yang jelas-jelas melanggar hukum,” katanya dengan nada prihatin.
“Bagaimana mungkin aktivitas ilegal bisa berlangsung dengan aman kalau tidak ada perlindungan dari pihak-pihak tertentu? Ini pertanyaan yang harus dijawab oleh penegak hukum,” tambah Gilang.
Lebih ironis lagi, para pekerja tambang dilaporkan mengambil solar milik alat berat PT JRBM—perusahaan tambang resmi yang beroperasi di wilayah tersebut—untuk kebutuhan operasional alat berat mereka.
“Ini seperti mencuri untuk membiayai kejahatan. Sumber daya negara digunakan untuk kegiatan yang merugikan negara sendiri,” kritik Gilang.
Kompleksitas permasalahan semakin terlihat dengan munculnya konflik agraria antara keluarga Kunu Makalalag dan PT JRBM. Gilang menjelaskan bahwa sengketa ini melibatkan beberapa titik strategis seperti Kilo 12 Sigor dan Hulu Dumagin.
“Keluarga Makalalag, melalui Rukli dan Akon Makalalag, mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik adat atau warisan keluarga. Mereka bahkan memiliki surat keterangan kepemilikan dari desa,” jelas Gilang. “Di sisi lain, PT JRBM mengklaim wilayah itu masuk dalam konsesi resmi mereka dan merupakan bagian dari kawasan Hutan Produksi Terbatas.”
Konflik ini pernah memanas hingga memunculkan aksi pemalangan akses utama PT JRBM sebagai bentuk penolakan warga.
“Yang terjadi adalah clash kepentingan antara hak adat masyarakat dengan izin formal perusahaan. Sayangnya, negara tidak hadir sebagai mediator yang adil,” ungkap Gilang.
Upaya penyelesaian sengketa agraria juga mengalami jalan buntu. Gilang menceritakan bahwa pihak keluarga sempat meminta ganti rugi lahan sebesar Rp24 miliar, namun PT JRBM hanya menawarkan kompensasi tanaman cengkeh.
“Ini menunjukkan gap komunikasi yang sangat besar. Di satu sisi, keluarga merasa lahannya diambil paksa dan meminta kompensasi yang layak. Di sisi lain, perusahaan merasa sudah beroperasi sesuai izin yang sah. Yang terjadi adalah impasse yang merugikan semua pihak,” analisis Gilang.
Menurut pandangan Gilang, kasus Upper Tobayagan adalah cermin buruknya tata kelola sumber daya alam di Indonesia, khususnya di daerah.
“Yang kita lihat adalah kegagalan sistemik. Negara tidak hadir secara efektif untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan,” tegasnya.
“Di satu sisi, PETI jelas melanggar hukum dan harus ditindak. Tapi di sisi lain, klaim lahan masyarakat adat tidak mendapat tempat yang layak dalam proses penyelesaian. Ini menciptakan ruang kosong yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” lanjut Gilang.
Gilang juga menyoroti dugaan keterlibatan nama-nama berpengaruh lainnya dalam jejaring PETI Upper Tobayagan, seperti Ko SW dan Ko AJ. “Ini bukan operasi yang dikelola oleh orang sembarangan. Mereka yang terlibat adalah orang-orang yang memiliki akses ke kekuasaan, modal, dan jaringan perlindungan,” ungkapnya.
“Kunu Makalalag sebagai tokoh sentral juga bukan figur biasa. Dia memiliki pengaruh dan koneksi yang memungkinkan operasi ini berjalan relatif aman dari gangguan penegak hukum,” tambah Gilang.
Selain aspek hukum dan agraria, Gilang juga mengkhawatirkan dampak lingkungan dari aktivitas PETI tersebut.
“Penggunaan sianida dalam proses pengolahan emas sangat berbahaya bagi ekosistem. Air sungai bisa tercemar, tanah kehilangan kesuburan, dan kesehatan masyarakat terancam,” jelasnya.
“Yang lebih memprihatinkan, lokasi ini berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas yang seharusnya dilindungi. Kerusakan yang terjadi akan sulit dipulihkan dan berdampak jangka panjang,” tambah Gilang dengan nada prihatin.
Gilang menyerukan kepada pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk segera bertindak tegas terhadap praktik PETI di Upper Tobayagan. “Penindakan hukum harus berjalan seimbang: menindak pelaku ilegal, melindungi hak masyarakat, dan memastikan keberlanjutan lingkungan hidup,” tuntutnya.
“Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, hingga lembaga kehutanan dan ESDM, harus melakukan evaluasi mendalam terhadap aktivitas ini. Jangan sampai kepentingan segelintir orang mengorbankan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan,” lanjut Gilang.
Menurut analisis Gilang, kasus ini berpotensi memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara. “Ketika masyarakat melihat bahwa aktivitas ilegal bisa berlangsung dengan perlindungan oknum aparat, kepercayaan terhadap sistem hukum akan semakin merosot,” ungkapnya.
“Ini berbahaya bagi demokrasi dan supremasi hukum. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada negara sebagai pelindung kepentingan publik,” tambah Gilang.
Meskipun prihatin dengan situasi yang ada, Gilang tetap berharap bahwa kasus ini bisa menjadi momentum untuk perbaikan sistem tata kelola sumber daya alam.
“Kasus Upper Tobayagan harus menjadi wake-up call bagi semua pihak. Kita perlu reformasi mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya di sektor pertambangan,” harapnya.
“Yang paling penting adalah memastikan bahwa suara masyarakat, terutama masyarakat adat, mendapat tempat yang layak dalam setiap kebijakan yang menyangkut tanah dan sumber daya alam mereka,” tutup Gilang dengan penuh harap.
Kasus PETI Upper Tobayagan menjadi reminder bahwa perjuangan untuk keadilan agraria dan penegakan hukum masih panjang. Diperlukan komitmen dari semua pihak untuk memastikan bahwa sumber daya alam Indonesia dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang yang memiliki akses ke kekuasaan.
