Jejak Kontroversial: Kematian Aan dan Polemik yang Mengguncang Bolsel

Pattah Bulan | 21 August 2025, 20:37 pm |

Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara – Duka mendalam menyelimuti Desa Sondana, Kecamatan Bolaang Uki, setelah kepergian Revan Kurniawan Santoso alias Aan (20) pada Rabu, 20 Agustus 2025. Pemuda yang awalnya menjadi tersangka kasus penikaman ini meninggal dunia di ruang IGD RSUD Bolsel, meninggalkan jejak kontroversi yang kini menghangat di media sosial.

Kisah kelam ini bermula pada malam Minggu, 18 Mei 2025, ketika suasana meriah konser penutupan event drag race di Jalan Boulevard, Desa Sondana, berubah mencekam. Aan diduga melakukan penikaman terhadap seorang pria berinisial AR yang sedang menonton bersama istrinya. Insiden tersebut langsung menarik perhatian Tim Resmob Angin Selatan Polres Bolsel yang kemudian mengamankan Aan untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Sebelum ajal menjemput, Aan sempat meninggalkan jejak berupa sepucuk surat yang berisi kronologis dugaan kekerasan yang dialaminya selama masa penahanan. Tak hanya itu, sebuah video yang memperlihatkan Aan menunjukkan bekas-bekas pukulan di tubuhnya juga beredar luas di media sosial.
Dalam dokumentasi yang kini viral tersebut, Aan menyebutkan bahwa perlakuan kekerasan dilakukan oleh oknum Kasat Reskrim Polres beserta anggotanya. Penyebaran video dan surat ini memicu gelombang spekulasi dan asumsi yang menyudutkan Polres Bolaang Mongondow Selatan.

Menghadapi badai kontroversi yang menggulung, Polres Bolsel bersama beberapa institusi terkait menggelar konferensi pers pada Kamis, 21 Agustus 2025, di Mapolres Bolsel. Konferensi yang dipimpin langsung oleh Kasat Reskrim Iptu Dedy Matahari ini dihadiri berbagai pihak, termasuk Kasi Intel Kejari Kotamobagu Julian Charles Rotinsulu, Kasi Humas Polres Bolsel Ipda Ahmad Wolinelo, Direktur RSUD Bolsel dr. Sadly Mokodongan, dan Dokter Polres Bolsel dr. Yanuar.
Dalam pernyataannya yang tegas, Iptu Dedy Matahari membantah dengan keras tuduhan penganiayaan. “Kewenangan saya di rutan Mapolres tidak sampai di dalam rutan. Saya tidak punya akses keluar masuk dalam rutan, kalau pun bisa masuk itu harus ada pengawasan Propam,” jelasnya sambil menantang pihak-pihak yang menuduhnya untuk membuktikan kapan dia melakukan penganiayaan tersebut.

Berdasarkan keterangan medis yang disampaikan dalam konferensi pers, Aan sempat menjalani perawatan di RSUD Bolsel pada 15 Juli 2025 dengan keluhan sesak napas dan nyeri ulu hati. Diagnosis awal menunjukkan bahwa dia menderita asam lambung dan infeksi pernapasan bagian atas.

Dr. Yanuar, dokter mitra Polres Bolsel, membenarkan bahwa pada 21 Juli 2025, pihaknya diminta melakukan pemeriksaan kesehatan untuk keperluan tahap dua penyidikan. Saat itu, kondisi Aan dinyatakan sehat dan tidak ada keluhan yang berarti.

Namun, kondisi kesehatan Aan terus memburuk setelah statusnya beralih menjadi tahanan Kejaksaan dan ditempatkan di Rutan Kotamobagu. Pada 14 Agustus, pihak Kejari menerima surat rujukan dari dokter rutan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Aan kemudian dirawat di rumah sakit dari 14 hingga 18 Agustus sebelum akhirnya dirujuk ke Manado untuk perawatan intensif.

Kasi Intel Kejari Kotamobagu, Julian Charles Rotinsulu, menjelaskan bahwa pada 21 Juli 2025 telah dilaksanakan pelimpahan tersangka dari Polres ke Kejaksaan Negeri Kotamobagu. Saat penyerahan, Aan dalam kondisi sehat berdasarkan surat keterangan dokter dan pengakuannya sendiri.
“Yang bersangkutan menjawab sehat jasmani dan rohani dan siap untuk tahap dua,” ungkap Charles, menegaskan bahwa prosedur standar telah diikuti dengan ketat.

Keluarga Aan yang tidak puas dengan penjelasan resmi terus menuntut keadilan. Mereka yakin bahwa kematian Aan bukan sekadar akibat penyakit biasa, melainkan ada unsur penganiayaan yang perlu diungkap tuntas.
Langkah otopsi pun diambil oleh keluarga di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandow Manado pada Kamis, 21 Agustus pagi. Menariknya, Iptu Dedy Matahari malah mendukung langkah ini dan bahkan menyatakan kesediaannya membiayai proses otopsi.

“Saya secara pribadi juga meminta untuk di otopsi, saya yang biayai. Saya tidak sedang membela diri, jika saja salah maka saya siap dihukum. Tetapi kalau saya tidak terbukti maka saya akan menggunakan hak saya sebagai warga negara,” tegas Matahari.

Kasus kematian Aan mencerminkan kompleksitas sistem peradilan yang kerap dihadapi masyarakat. Di satu sisi, ada tuduhan serius tentang penganiayaan dalam tahanan. Di sisi lain, pihak kepolisian memberikan bantahan keras dengan bukti-bukti medis dan prosedural.
Keluarga korban merasa kehilangan sosok yang dicintai dalam kondisi yang mencurigakan. Sementara itu, pihak yang dituduh juga merasakan dampak dari viralnya video dan surat yang menyudutkan mereka di mata publik.

Hasil otopsi yang dilakukan di Manado diharapkan dapat memberikan jawaban definitif atas berbagai spekulasi yang berkembang. Apakah Aan benar-benar menjadi korban penganiayaan atau kematiannya murni akibat kondisi medis yang memburuk?
Kasus ini juga menjadi pengingat penting tentang pentingnya transparansi dalam sistem peradilan pidana. Setiap tahanan, betapapun beratnya tuduhan yang dihadapi, berhak mendapat perlakuan yang manusiawi dan perlindungan dari negara.

dari hasil otopsi nanti, kasus Aan telah membuka mata publik tentang pentingnya pengawasan dan transparansi dalam proses penahanan. Video dan surat yang ditinggalkan Aan, entah benar atau tidak, telah menjadi pengingat bahwa suara tahanan tidak boleh dibungkam.
Bagi keluarga Aan, perjuangan mencari keadilan masih berlanjut. Bagi pihak yang dituduh, pembuktian innocence menjadi tantangan tersendiri. Dan bagi masyarakat, kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya due process dalam sistem peradilan kita.
Kematian Aan di usia 20 tahun telah meninggalkan jejak kontroversi yang mendalam. Semoga kebenaran dapat terungkap dan keadilan dapat ditegakkan, baik bagi korban maupun bagi mereka yang dituduh tanpa dasar yang kuat.

Berita Terkait