Marak Pembelian dan Penimbunan BBM di SPBU Soguo Bolsel Terkesan Adanya Pembiaran Oleh APH dan Pemerintah Setempat

Pattah Bulan | 27 August 2025, 12:49 pm |

Bolaang Mongondow Selatan – Di balik hiruk-pikuk aktivitas sehari-hari di SPBU Soguo (74.967.09) yang terletak di Desa Soguo, Kecamatan Bolaang Uki, tersembunyi drama kelam yang merugikan masyarakat luas. Praktik dugaan penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) secara masif kembali mencuat ke permukaan, kali ini dengan modus operandi yang terang-terangan dan diduga melibatkan oknum pemerintah daerah hingga aparat penegak hukum.

Yang mengherankan dari praktik ini adalah keberaniannya yang nyaris tanpa tedeng aling-aling. Berdasarkan pantauan media dan pengamatan warga, aktivitas mencurigakan berlangsung dengan pola yang teratur dan sistematis. Hal tersebut karena adanya kerja sama terselubung dengan petugas SPBU

Kendaraan roda dua dengan tangki yang sudah dimodifikasi secara khusus keluar masuk SPBU dengan frekuensi yang mencurigakan. Bahkan, satu kendaraan yang sama bisa melakukan bolak-balik hingga 10 kali dalam sehari. Seolah-olah mereka sedang menjalankan operasi bisnis yang sah, padahal yang terjadi adalah aksi pengerukan BBM yang seharusnya menjadi hak masyarakat umum.

Menurut informasi yang beredar, dalam pembelian BBM Jenis Petralite menggunakan jerigen 25 liter diduga menyetor ke Pihak Polres untuk melakukan pengamanan modus tersebut.

” kami disini membeli menggunakan jerigen 25 liter dengan harga sekitar 270, yang seharusnya 250 jadi keuntungan tersebut untuk pihak SPBU dan Setoran ke APH” ungkap salah satu penimbun Papa A

Terdapat dugaan bahwa BBM subsidi Jenis Solar digunakan untuk mensupplai ke wilayah pertambangan ilegal, dan pemilik pajeko atau kapal dari Bolsel hingga luar daerah.

“Ada beberapa oknum dari Polres Bolsel diduga mengirim solar ke lokasi Pertambangan Ilegal di Kabupaten Bolsel dan untuk bahan bakar pemilik pajeko besar sehingga terjadi adanya ketimpangan dan pengisian BBM dari truk Depot yang berulang laki” ungkap salah satu pemuda R

Pola operasinya cukup simpel namun efektif: jerigen dalam jumlah banyak digunakan untuk menampung BBM yang seharusnya dijual langsung kepada konsumen akhir. Jerigen-jerigen tersebut kemudian diangkut menggunakan sepeda motor secara berulang-ulang, lalu dipindahkan ke mobil pick up untuk dibawa ke lokasi lain yang masih misterius.

Akibat dari praktik ini sangat dirasakan oleh masyarakat. Suplai BBM untuk kebutuhan sehari-hari menjadi terbatas, memicu antrean panjang yang melelahkan. Masyarakat yang hanya ingin mengisi bahan bakar untuk keperluan harian harus bersabar menunggu, sementara oknum tertentu dengan leluasa “memborong” BBM dalam jumlah besar.
Yang lebih memprihatinkan, aksi ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan terkesan mendapat pembiaran dari pihak-pihak yang seharusnya berwenang mengawasi. Seolah-olah ada invisible hand yang melindungi praktik ilegal ini dari jangkauan hukum.

Yayan Mokoagow, salah satu warga yang vokal menyuarakan keresahannya, menyatakan dengan tegas bahwa ini bukan lagi sekadar dugaan. “Ini bukan lagi dugaan, tetapi sudah menjadi rahasia umum. Modusnya terlihat jelas, jerigen dibawa dengan motor, lalu dipindah ke mobil,” ungkapnya dengan nada kecewa.

Kekecewaan Yayan terutama tertuju pada absennya peran pemerintah daerah, khususnya Dinas Perindagkop dan UMKM yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengawasan. “Yang menjadi pertanyaan besar kami, di mana peran pemerintah daerah? Ini menunjukkan kurangnya perhatian dan pembiaran yang sistematis,” kritiknya.

Dampak dari pembiaran ini, lanjut Yayan, adalah kelangkaan BBM yang merugikan masyarakat kecil. “Masyarakat kecil yang menjadi korban, sementara oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab diuntungkan,” tegasnya.

Jhul Ohi, warga lain yang turut memantau kejadian ini, menambahkan dimensi baru dalam permasalahan ini. Kecurigaannya tidak hanya tertuju pada pelaku lapangan, tetapi juga pada kemungkinan adanya oknum Aparat Penegak Hukum (APH) yang memfasilitasi atau setidaknya membiarkan praktik ini berlangsung.

“Kami heran, aktivitas yang sedemikian vulgar dan masif ini kok bisa tidak terpantau oleh kepolisian atau aparat terkait? Ada kesan kuat adanya pembiaran, bahkan mungkin ada unsur balik layar,” ungkap Jhul dengan nada penuh kecurigaan.

Jhul mendesak Kapolres setempat untuk turun tangan langsung mengusut tuntas, bukan hanya pelaku lapangan, tetapi juga kemungkinan adanya oknum dari dinas terkait atau APH yang membiarkan atau bahkan melindungi praktik mafia BBM ini. “Ini sudah meresahkan masyarakat dan mengganggu stabilitas ekonomi mikro,” tambahnya.

Praktik penimbunan BBM yang terjadi bukan sekadar pelanggaran etis, tetapi telah melanggar sejumlah aturan hukum yang tegas. Setidaknya ada tiga kategori pelanggaran yang bisa dijerat:

Pelanggaran UU Migas

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya Pasal 55, setiap orang yang menjual atau mengangkut Minyak dan Gas Bumi tanpa hak dapat dipidana. Penimbunan yang menyebabkan kelangkaan juga bertentangan dengan semangat undang-undang untuk menjamin ketersediaan BBM bagi masyarakat.

Setiap SPBU terikat oleh peraturan izin usaha yang mewajibkan penjualan BBM secara langsung kepada konsumen akhir. Praktik penampungan atau penjualan eceran di luar sistem yang ditetapkan merupakan pelanggaran administratif yang dapat berujung pada pencabutan izin.
Tindak Pidana Penimbunan (Hoarding)
Berdasarkan Pasal 107 bis KUHP (atas dasar UU Darurat No. 7 Tahun 1955), mereka yang dengan sengaja menimbun atau menyembunyikan barang kebutuhan pokok masyarakat dengan tujuan mempermainkan harga dapat diancam pidana penjara.

Dengan landasan hukum yang kuat, tuntutan masyarakat menjadi semakin sah dan mendesak. Ada dua institusi utama yang dituntut untuk bertindak tegas:
Pemerintah Daerah Harus Bergerak
Dinas Perindagkop dan UMKM dituntut untuk segera melakukan pengawasan ketat dan investigasi internal. Sanksi administratif berupa pencabutan izin bagi SPBU yang terbukti melakukan penimbunan harus dilakukan tanpa pandang bulu. Tidak ada lagi ruang untuk kompromi atau toleransi terhadap praktik yang merugikan masyarakat ini.

Kepolisian dan Kejaksaan dituntut untuk proaktif mengungkap jaringan ini dengan menjerat pelaku menggunakan pasal-pasal pidana yang berlaku. Investigasi harus menyeluruh hingga ke oknum yang diduga melindungi atau membiarkan praktik ini, termasuk kemungkinan penerapan pasal 55 KUHP tentang Pembantuan Tindak Pidana.

Berita Terkait