Refleksi HUT Bhayangkara: Cipayung Plus Riau minta Kapolri Evaluasi Kapolda dan Copot Dirkrimsus Polda Riau

Rudy Wirawan | 3 July 2025, 16:12 pm |

Pekanbaru, Mataharian.com – Tepat di peringatan Hari Bhayangkara ke-79, Cipayung Plus Riau yang terdiri dari KAMMI, IMM, HMI, PMII, GMNI, GMKI, dan HIMAPERSIS menyampaikan evaluasi kritis terhadap kinerja Polri, khususnya di wilayah Provinsi Riau. Aliansi ini menyoroti merosotnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum akibat praktik ketimpangan dan diskriminasi yang masih terus dipertontonkan oleh aparat penegak hukum di lapangan.

Di mata kami, hukum di Riau hari ini telah menjelma menjadi pisau bermata satu. Ia tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Rakyat kecil, terutama petani tradisional, kerap ditindak secara cepat dan represif atas dugaan pelanggaran lingkungan. Sementara itu, korporasi besar yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan, pencemaran sungai, maupun perampasan tanah adat, justru sering kali luput dari jerat hukum. Mereka lebih sering berakhir dengan sanksi administratif ringan—jika bukan bebas sama sekali.

Kondisi ini diperparah dengan lambannya penanganan berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik di Riau. Skandal perjalanan dinas fiktif yang melibatkan anggota DPRD Riau, misalnya, hingga kini masih diselimuti kabut ketidakjelasan. Tidak ada transparansi, tidak ada keseriusan penindakan, seolah hukum tunduk pada kekuasaan dan jabatan. Ironisnya, di saat yang sama, masyarakat kecil yang terlambat membayar pajak atau membuka warung tanpa izin, dapat ditindak dalam hitungan hari.

Fenomena ini jelas merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap asas negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, di mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Namun yang terjadi di Riau justru sebaliknya: hukum hanya bekerja ketika berhadapan dengan mereka yang tidak memiliki kekuasaan atau modal ekonomi.

Cipayung Plus juga turut menyoroti kasus lain yang masih saja menghantui Provinsi Riau, seperti halnya yang belum lama naik ke permukaan Kasus Penggelapan Ijazah mantan Karyawan PT Sanel yang menjadi harapan bagi banyak pekerja di riau yang mengalami hal sama, berharap agar tidak ada lagi kasus serupa. Belum lagi perdagangan orang dan Narkotika, masih menjadi PR besar bagi Polda Riau.

Dalam kerangka hukum positif, praktik semacam ini telah melanggar prinsip equality before the law dan menciderai amanat konstitusi. Lebih dari itu, ia merusak moral publik dan menciptakan keputusasaan kolektif terhadap lembaga penegak hukum. Jika dibiarkan, situasi ini akan melanggengkan impunitas bagi pelanggar hukum dari kalangan elite dan korporasi, serta menjerumuskan rakyat ke dalam ketakutan dan ketidakpercayaan yang akut terhadap negara.

Momentum Hari Bhayangkara seharusnya menjadi ruang refleksi, bukan selebrasi seremonial. Karena sejatinya, tugas utama kepolisian bukan mempertahankan kekuasaan, melainkan menjaga keadilan. Sayangnya, hingga usia ke-79 tahun, Polri masih belum berhasil melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan. Penegakan hukum belum menjadi alat pembebasan rakyat, tapi justru menjadi alat kontrol terhadap mereka yang dianggap lemah.

Cipayung Plus Riau menegaskan bahwa hukum yang tidak ditegakkan secara adil hanya akan menjadi alat kekerasan yang sah. Kami menolak segala bentuk penyimpangan hukum yang menguntungkan elite dan menyengsarakan rakyat. Kami menolak segala bentuk ketimpangan penegakan hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial.

Kami menyerukan agar Polri, khususnya Polda Riau, tidak lagi bermain-main dalam tugas suci penegakan hukum. Kami mendesak agar kepolisian berani berdiri di sisi kebenaran, bukan di bawah ketiak kekuasaan. Karena ketika hukum tak lagi menjamin keadilan, maka rakyat berhak untuk mempertanyakannya. Dan ketika rakyat kehilangan harapan terhadap hukum, maka tidak ada lagi yang dapat menyelamatkan keutuhan demokrasi kita.

Hari Bhayangkara bukan tentang tepuk tangan, tapi tentang keberanian untuk mengakui kegagalan dan berbenah. Jika Polri benar ingin dipercaya rakyat, maka langkah pertama adalah memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu—siapa pun pelakunya, apa pun statusnya, dan sebesar apa pun kuasanya

Berita Terkait