

PEKANBARU, Mataharian.com – Ruang kelas diganti dengan sajadah, meja belajar berganti dengan lantai masjid. Ironi pendidikan ini terjadi di Kabupaten Pelalawan, Riau, di mana siswa-siswi SMA kelas jauh terpaksa melaksanakan ujian di dalam masjid karena ketiadaan infrastruktur pendidikan yang layak.
Situasi memalukan ini memicu amarah Himpunan Mahasiswa Pelalawan Pekanbaru (HIPMAWAN) yang melontarkan kritik tajam kepada Pemerintah Provinsi Riau. Mereka menyebut kondisi ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.
“Di mana Gubernur Riau ketika anak-anak harus menjawab soal ujian di atas sajadah, bukan di bangku sekolah? Di mana Dinas Pendidikan Provinsi ketika generasi muda harus belajar di tempat ibadah, bukan di ruang kelas? Ini bukan sekadar kelalaian—ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap masa depan rakyat!” tegas Dhea Kurnia Insan Hasibuan, Kepala Divisi Hukum dan Advokasi HIPMAWAN dengan nada berapi-api.
Pencitraan vs Realitas
HIPMAWAN tidak tanggung-tanggung mengecam Pemprov Riau yang dinilai lebih mengutamakan citra daripada substansi. Mereka menilai pemerintah provinsi terlalu sibuk dengan proyek-proyek kosmetik dan jargon-jargon pembangunan, sementara infrastruktur dasar pendidikan justru terabaikan.
“Kami tidak butuh seremoni seremonial. Kami tidak butuh pidato-pidato tentang visi Riau Emas atau Pelalawan Emas 2045. Jika hari ini saja anak-anak kami masih dibiarkan belajar di masjid karena tak ada gedung sekolah, mimpi-mimpi itu hanya omong kosong elit birokrat!” tegasnya.
Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah gencarnya pemerintah mempromosikan program-program unggulan pendidikan yang ternyata tidak menyentuh persoalan mendasar seperti ketersediaan ruang kelas yang memadai.
Audit Anggaran dan Investigasi Mendesak
Tidak berhenti pada kritik, HIPMAWAN mengeluarkan tuntutan konkret. Organisasi ini mendesak dilakukannya audit menyeluruh terhadap anggaran pendidikan provinsi dan pembentukan panitia khusus (Pansus) oleh DPRD Riau untuk menginvestigasi kemungkinan adanya penyalahgunaan anggaran.
“Kami tahu data bisa dimanipulasi. Tapi fakta di lapangan tidak bisa dibohongi. Anak-anak kami tidak butuh statistik, mereka butuh meja, papan tulis, dan gedung sekolah!” ujar pengurus HIPMAWAN dengan lantang.
Kenyataan bahwa siswa harus mengerjakan ujian di masjid dianggap sebagai bukti kuat gagalnya fungsi pengawasan, distribusi anggaran, dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi.
Ancaman Aksi Massa
HIPMAWAN memberikan ultimatum kepada Pemprov Riau untuk segera menyelesaikan masalah ini. Jika tuntutan mereka tidak didengar, organisasi ini siap menggelar aksi massa dan mengeskalasi isu ini ke tingkat nasional.
“Jika Pemprov tidak segera bertindak, maka kami akan turun ke jalan. Kami akan angkat isu ini ke tingkat nasional. Karena pendidikan bukan milik elite, pendidikan adalah hak rakyat, dan kami tidak akan diam melihatnya diinjak-injak!” ancam mereka.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Provinsi Riau maupun Dinas Pendidikan Provinsi terkait kritik pedas HIPMAWAN. Sementara siswa-siswi di Pelalawan tetap harus menjalani ujian dalam kondisi yang jauh dari kata layak, mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memenuhi janji-janji pembangunan pendidikan yang berkualitas.
