

Oleh IMMawan Ardi. Ketua Komisariat FEB Unismuh Luwuk
Dilansir dari Banggainews.com, Bappeda Banggai melalui Kepala Bappeda, Ramli Tongko, dalam forum konsultasi rancangan awal RPJMD Banggai 2025–2029 pada rabu (12/8/2025), menyampaikan proyeksi pendapatan daerah pada tahun 2029 akan mencapai Rp5,87 triliun. Namun, dalam pemberitaan tersebut tidak dijelaskan indikator atau dasar perhitungan yang digunakan untuk menghasilkan angka tersebut.
Karena itu, kami merasa perlu mengkaji dan menyampaikan hal ini kepada publik. Kita tau bersama bahwa APBD Kabupaten Banggai sangat bergantung pada dana transfer pemerintah pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Untuk dapat meningkatkan pendapatan hampir dua kali lipat hanya dalam lima tahun, setidaknya harus ada Lonjakan harga migas yang sangat signifikan dan bertahan stabil sehingga DBH meningkat tajam. Penambahan DAK secara besar-besaran setiap tahun dari pemerintah pusat atau kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan, baik dari pajak dan retribusi, maupun dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mampu mencetak keuntungan ratusan miliar rupiah.
Masalahnya, ketiga skenario tersebut memiliki peluang yang sangat kecil untuk terjadi. Tidak ada jaminan harga migas akan terus tinggi, penambahan DAK yang besar secara konsisten adalah hal yang jarang terjadi, dan sejauh ini belum ada bukti kemampuan daerah dalam menggali dan meningkatkan PAD secara signifikan.
Dengan kondisi itu, target tersebut terlihat unreralistic forecasting atau proyeksi yang tidak realistis karena tanpa landasan yang kuat. Jika proyeksi yang dimasukkan dalam RPJMD meleset hal ini akan menciptakan masalah fiskal, akibatnya realisasi lebih kecil dari rencana, sementara belanja sudah disusun sedemikian rupa banyaknya.
Lebih jauh, proyeksi tersebut justru bertolak belakang dengan pernyataan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) pada Maret lalu, yang dikutip dari kabarbanggai.com, bahwa Kabupaten Banggai tidak akan menerima Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp507 miliar pada 2026. Kondisi ini diperkirakan akan membuat pendapatan daerah anjlok drastis menjadi hanya sekitar Rp2,5 triliun pada 2026, atau turun 16,49% akibat berkurangnya dana transfer dari pemerintah pusat. Jika pada 2026 saja pendapatan diproyeksikan mengalami penurunan signifikan, maka patut dipertanyakan bagaimana dalam tiga tahun berikutnya angka tersebut bisa melonjak menjadi Rp5,87 triliun pada 2029 tanpa penjelasan dan dasar yang jelas.
Kami menduga bahwa Bappeda memasukkan potensi penerimaan Participating Interest (PI) 10% dari perusahaan BEU sebagai salah satu sumber dalam proyeksi penerimaan daerah di RPJMD. Dugaan ini diperkuat oleh beberapa pernyataan Bupati Amirudin di beberapa media yang menyebut proyeksi APBD dapat meningkat menjadi Rp5–6 triliun berkat adanya sumber penerimaan baru dari PI 10% migas.
Faktanya, perusahaan BEU belum beroperasi dan belum menghasilkan keuntungan bagi daerah. Bahkan, dalam beberapa tulisan kami sebelumnya—yang dapat ditelusuri melalui google—kami menduga perusahaan ini berpotensi tidak ditunjuk sebagai pengelola PI 10%.
Secara aturan, perencanaan keuangan daerah dalam penyusunan RPJMD tidak boleh memuat target pendapatan dari sumber yang belum jelas kepastiannya. Terlebih lagi, jika perusahaan tersebut belum beroperasi, belum ada kepastian hukum terkait kontrak kerja sama, atau kepastian hak bagi hasil PI 10% dengan pihak terkait lainya.
Ketentuan ini termuat dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 31 yang menegaskan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan. Begitu pula, Permendagri 86 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Pasal 156 ayat (2) yang menyatakan bahwa analisis keuangan daerah dilakukan untuk menghitung proyeksi kapasitas riil keuangan daerah.
Dengan demikian, potensi penerimaan dari BEU tidak dapat secara sah dimasukkan sebagai target pendapatan daerah dalam RPJMD karena bukan potensi rill keuangan daerah. Memasukkannya bukan hanya akan menyalahi prinsip perencanaan RPJMD tetapi juga mengacaukan perencanaan belanja karena belanja disusun dari pendapatan fiktif dan berersiko mendapat hukuman dengan tuduhan manipulasi analisa keuangan.
