Sikap Ketua PMII Siak Terhadap Kasus Penahanan Ijazah oleh Purnama Swalayan di Kabupaten Siak

Fikri Fauzan | 24 June 2025, 10:18 am |

Apa bedanya bangsawan zaman kolonial dengan pemilik swalayan di Siak hari ini? Kalau kolonialisme dulu menjajah lewat kerja paksa dan upeti, maka hari ini kita menyaksikan pengusaha lokal menjajah rakyat sendiri lewat penahanan ijazah, ancaman, dan sistem kerja ala budak. Nama pelakunya: Novriandy. Modusnya: menahan 23 ijazah karyawan sebagai “jaminan” atas kerugian toko. Inilah wajah baru perbudakan legal di negeri yang katanya merdeka.

Kita tidak bicara tentang satu atau dua korban. Kita bicara tentang puluhan anak muda miskin yang ijazahnya disandera oleh satu orang yang merasa lebih berkuasa dari undang-undang. Ironisnya, ia adalah mantan polisi. Dan karena itulah laporan para korban ditendang, diabaikan, bahkan mungkin ditertawakan. Di mana rasa keadilan itu tinggal kalau aparat pun diduga ikut melindungi penindas?

Coba bayangkan: seseorang yang sudah berhenti kerja masih harus menanggung kerugian kasir, bahkan kerugian yang tidak jelas sumbernya. Apa ini bukan bentuk perbudakan sistemik? Barang hilang dibebankan ke karyawan, meskipun semua sudah difoto saat closing. Ijazah ditahan, lalu karyawan dipaksa membayar jutaan rupiah hanya untuk menebus hak mereka sendiri. Ini bukan toko—ini adalah penjara bermerek swalayan.

Dan yang lebih menyakitkan negara diam.Disnaker? Mati suri. Polisi? Diduga tutup mata. Hukum? Hanya berlaku untuk yang miskin. Jika pengusaha punya relasi kuasa dan seragam masa lalu, maka hukum bisa dilipat, diremas, dan dilempar ke tong sampah.

Apa kita harus terus diam? Apa pekerja hanya boleh pasrah, minta-minta belas kasihan kepada media, sambil berharap ijazah mereka dikembalikan seperti pengemis minta nasi?

Sudah cukup! Rakyat tidak butuh belas kasihan—rakyat butuh keadilan!

Jika kasus ini dibiarkan, kita sedang mewariskan kepada generasi muda bahwa:

 

* Boleh memperbudak asal punya koneksi.

* Boleh menindas asal punya jabatan lama.

* Dan ijazah, hasil jerih payah bertahun-tahun, bisa dirampas begitu saja oleh tangan tamak yang berbaju pemilik toko.

 

Ketua PK PMII Siak, Riyan Azhari, dalam wawancara menyampaikan sikap kerasnya. “Ini bukan sekadar pelanggaran ketenagakerjaan. Ini bentuk penjajahan gaya baru terhadap kaum buruh modern. Kami dari PMII Siak menilai tindakan ini adalah perbudakan, pelecehan hukum, dan penghinaan terhadap intelektualitas rakyat kecil,” tegasnya. Ia juga menambahkan bahwa jika pihak berwenang tidak segera bertindak, maka PMII Siak akan menggerakkan aksi besar-besaran. “Apabila pihak kepolisian dan Pemkab Siak tidak segera bertindak, kami tidak akan tinggal diam. Kami akan turun ke jalan, bawa massa, dan pastikan tidak ada pengusaha yang bisa merasa kebal hukum di atas penderitaan rakyat,” ujarnya dengan lantang.

 

Ini adalah momentum penting. Bila negara diam, maka rakyat harus bersuara. Bila hukum tak berpihak, maka massa harus bergerak. Kita tidak bisa membiarkan satu orang merampas hak puluhan karyawan hanya karena merasa punya kuasa dan bekas seragam institusi. Saat aparat tak lagi melindungi yang lemah, maka mahasiswa, buruh, dan rakyat kecil harus membentuk barisan perlawanan.

 

Negara harus bertindak, atau rakyat harus lawan.

 

Jika hukum tidak bisa menjangkau para penghisap darah rakyat kecil, maka suara massa, media sosial, bahkan perlawanan sipil menjadi sah. Kita tidak bicara soal satu kasus lagi—ini soal arah bangsa: apakah kita memilih berpihak pada pekerja, atau tetap membela para penindas?

 

Novriandy bukan satu-satunya. Ia hanyalah wajah dari sistem yang busuk, rusak, dan butuh digulingkan. Bukan secara fisik, tapi secara hukum, moral, dan sosial. Kita tidak butuh toko yang besar, jika fondasinya dibangun dari keringat dan air mata orang-orang kecil.

#BebaskanIjazahKami

#LawanPenindasan

#PekerjaBukanBudak

Berita Terkait